Selasa, 24 November 2015

When Rasulullah Gone.

Dengan suara yang lemah dan terbata-bata, pagi itu Muhammad saw, rasul terakhir, memberikan nasehat kepada sahabat-sahabatnya:

"Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al-Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berarti ia mencintai aku. Dan bersamaku kelak, orang-orang yang mencintaiku, akan masuk ke dalam surga bersama-sama.”

Sesudah mengakhiri khutbahnya, dengan tatapan yang teduh dan penuh kasih, Muhammad menatap wajah sahabatnya satu per satu. Bertahun-tahun Rasulullah melakukan kebiasaan mengabsen sahabatnya di pagi hari. Tetapi tatapan di pagi hari itu, lain dari biasanya.

Ada perasaan yang begitu berat mengganjal di hatinya. Ada perasaan tidak ingin hidup terpisahkan dari mereka. Siapa yang sanggup, berpisah dengan orang-orang terkasih, yang telah menemani dalam suka dan duka, selama lebih dari 22 tahun? Ia seperti ingin terus berada di tengah-tengah para sahabatnya, yang telah rela mengorbankan apa saja yang menjadi milik mereka, demi tegaknya risalah yang diemban rasul-Nya.

Suasana senyap. Para sahabat merasa, waktunya telah tiba. Sesudah haji wada, yang juga menyiratkan berakhirnya risalah kenabian Muhammad, para sahabat masih terus menunggu, kapan tiba waktunya. Dan kini mereka merasa, mungkin inilah saatnya.

Abu Bakar mamandang Rasulullah. Matanya menatap nanar dan berkaca-kaca. Umar yang gagah dan pemberani, sesak dadanya, berusaha menahan tangis sekuat daya. Utsman terpaku dalam diam. Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Semua yang hadir tidak mampu megeluarkan kata-kata. Manusia tercinta itu sudah berada di ujung yang paling akhir dari perjalanannya. Usai sudah Muhammad menunaikan tugasnya.

Tatkala Rasulullah berjalan limbung turun dari mimbar, Ali dan Fadhal dengan sigap segera menangkapnya. Rasulullah segera dipapah masuk ke dalam rumahnya, yang hanya berjarak beberapa meter dari mimbarnya, di Masjid Nabawi yang mulia. Para sahabat semakin yakin, saatnya telah tiba.

Mereka terus berkumpul, di sekitar rumah Rasulullah, menunggu detik-detik berlalu. Matahari sudah meninggi, tetapi pintu rumah Nabi masih saja tertutup. Manusia agung yang mampu hidup lebih mewah dari segala raja, memilih tidur beralaskan tikar, terbaring lemah di dalamnya, bersama keluarganya yang mulia. Keringat yang mengucur dari keningnya membasahi pelepah kurma yang menjadi bantalnya.

Dari arah luar, tiba-tiba terdengar seorang laki-laki berseru, "Assalamu'alaikum!" Fatimah, putri Nabi, keluar menemuinya. "Boleh saya masuk?” tanya laki-laki itu. Fatimah tidak memberinya izin, karena ayahandanya sedang terbaring lemah. “Maafkanlah, ayahandaku sedang demam,” kata Fatimah sambil membalikkan badan dan segera menutup kembali pintunya.

Fatimah kembali menemani ayahnya. Rasulullah sudah membuka matanya saat Fatimah datang menghampiri. Ia bertanya pada putrinya, “Siapakah tadi yang datang wahai putriku?” Fatimah menjawab, “Aku tidak tahu, baru sekali ini aku melihatnya." Lalu Rasulullah menatap wajah putrinya dalam-dalam, layaknya seorang ayah yang hendak pergi meninggalkan anaknya untuk jangka waktu yang cukup lama.

“Ketahuilah wahai putriku, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan kita di dunia. Dialah malakul maut,” kata Rasulullah. Mendengar itu, meledaklah tangis Fatimah, yang selama ini ditahannya.

Saat malaikat maut datang menghampiri, Rasulullah bertanya, mengapa Jibril tidka ikut bersamanya. Jibril sedang bersiap di atas langit untuk menyambut datangnya kekasih Allah, pamungkas para nabi dan Rasul, penghulu dunia ini. Lalu dipanggilah Jibril turun ke bumi mendekat kepada Rasulullah.

Dengan suaranya yang lirih Rasulullah bertanya, "Wahai Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" Jibril menjawab, "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti kedatangan ruhmu. Semua pintu surga terbuka lebar menanti kedatanganmu."

Jawaban itu tidak memuaskan Rasulullah. Di wajahnya masih terlukis kecemasan. “Apakah engkau tidak suka mendengar kabar ini, wahai kekasih Allah?” Jibril bertanya dengan heran. Nabi menukas, "Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku sepeninggalku!"

“Engkau tidak perlu khawatir, wahai Rasul Allah. Pernah Allah berfirman kepadaku: Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” ujar Jibril menghibur.

Waktu semakin memburu. Malaikat maut didesak waktu. Ia harus segera menunaikan tugasnya. Apabila ajal telah tiba, tidak ada yang bisa menahan barang sedetik, tidak juga ada yang mampu mengulurnya, demikian janji Allah kepada seluruh manusia. Perlahan-lahan Israil menarik ruh Rasulullah dari jasadnya yang semakin melemah. Rasulullah bersimbah keringat di sekujur tubuhnya. "Aduhai Jibril, betapa sakitnya sakaratul maut ini."

Rasulullah mengaduh perlahan. Suaranya lirih. Mata Fatimah Az-Zahra terpejam. Ali tertunduk dalam diam di sampingnya. Malaikat pengantar wahyu tak kuasa melihat penderitaan kekasih Allah, dibuangnya mukanya jauh-jauh.

"Apakah engkau jijik melihatku, hingga kau palingkan wajahmu dariku?" tanya Nabi kepada Jibril. "Siapa yang mampu melihat penderitaan kekasih Allah direngut nyawanya?" ujar Jibril.

Tak kuasa menahan sakit, Rasulullah memekik. "Ya Allah, betapa sakitnya maut ini. Timpakan semua siksa maut ini kepadaku. Jangan kau berikan kepada ummatku." Sekujur tubuh Rasulullah, dari kaki hingga dada, sudah mulai terasa dingin. Di penghujung ajalnya, ketika nafas tinggal satu-satu meninggalkan rongga dadanya, bibirnya bergerak seperti hendak mengatakan sesuatu. Ia masih ingin mengatakan sesuatu. Menantu Rasulullah yang berada di sampingnya segera mendekatkan telinganya, mendengar dengan sangat seksama. "Uushiikum bis-shalah, wa maa malakat aimanukum." Itulah kalimatnya yang keluar. "Peliharalah shalat, dan santunilah budak-budak di antaramu."

Di luar rumah, suara tangis para sahabat mulai terdengar bersahutan. Di sisa terakhir tenaganya yang tertinggal, Rasulullah masih berupaya mengucapkan sesuatu. Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai membiru. "Ummatii, ummatii, ummatiii..." "Umatku, umatku, umatku..."

Nyawapun meregang, lepas dari jasad Rasulullah. Tangispun meledak. Semua sahabat merasa telah kehilangan manusia yang paling mereka cintai, manusia yang memiliki sebaik-baik akhlaq, yang sejak muda bergelar Al-Amin, Yang Terpercaya.

Minggu, 15 November 2015

Aku tak ingin kau terdengar

Bahkan dalam memangispun aku harus memilih cara menangis yang tegar.
Itu sebabnya aku lebih suka menyendiri, bahkan terkesan menjauh dari keramaian, karena aku tak sanggup, menahan agar senyum selalu bergayut itu aku tak pandai.

Aku menjauh, agar aku bisa menangis lebih keras, lebih kuat, dan agar kau tak mendengar.

Kalau Teringat Ibu


Saat burung melupakan dahan
aku teringat ibu
setelah pulang dari terbang jauh
luka rindu pada petang
yang terpisah
mungkin bukan milikku
Sejak kecil bertanyaku kepada bintang
tak pernah aku tahu
bagaimana rasanya rindu
Teman kecilku kupu-kupu
kembaraku angin ladang
bahagiaku capung-capung telaga
sejak dulu kerinduanku selalu gugup
ke mana hinggap sayap-sayapku
Kecilku layang-layang
tak seorang memegang benang
Hanya karena tangan-tangan langit
tak hilang angin dan awanku
Terpejam aku setiap ingat ibu
kalau nanti sampai titik airmataku
ingin kukirim itu sebagai kado
setangkai kenangan kepada ibu
tak tahu apa ibu sedang menunggu.
(sebuah puisi dari Handrawan Nadesul, 2001)




Kamis, 05 November 2015

Keteladanan Ibrahim & Jiwa Kepemimpinan bagi anak

Melalui kisah para Nabi terdahulu, kita dapat mengambil hikmah bahwa salahsatu ciri adanya jiwa pemimpin ialah dengan memberikan yang terbaik dalam setiap hal yang diembankan padanya, menuntaskan setiap amanahnya dengan sempurna. Mari kita simak ayat berikut ini:

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (Q.S. Al Baqarah: 124)

Nabi Ibrahim a.s. dijadikan pemimpin atas kaumnya setelah beliau melaksanakan perintah-perintah Allah dengan sempurna. Allah-lah pemilik kepemimpinan, dan kepemimpinan itu dari Allah bagi siapa saja yang fit & proper untuk mengembannya.

“Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan Pemilik kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Maha kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Ali Imran: 26)

Jadi, untuk menyandang kepemimpinan, yang perlu dilakukan bukanlah merebutnya dari penguasa yang lama, melainkan memantaskan diri agar Allah berkenan memberikan kepemimpinan kita. Ihsan dalam melakukan sesuatu. Niat dan menargetkan yang terbaik.

Ya, Allah meminta yang terbaik dari diri kita. Ahsanu amala, sebaik-baik, yang terbaik perbuatannya. Coba renungkan hadits berikut ini:

Bila kamu melihat kemungkaran, ubahlah dengan tanganmu. Bila tak mampu ubahlah dengan lisanmu. bila tak sanggup, ubahlah dengan hatimu, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)

Mengapa urutannya bukan “Ubahlah dengan hatimu, lalu jika mampu, ubahlah dengan lisanmu, lalu jika mampu, ubahlah dengan tanganmu…”

Mengapa?

Karena Allah meminta kita mengusahakan yang terbaik dari diri kita. Adapun Allah, tidak membebani seorang hamba melebihi yang dapat ditanggungnya. Subhanallah, sungguh Allah Maha Bijaksana :).

Dari ayat Q.S. Al Baqarah ayat 24 tadi, masih ada hal lain yang dapat kita ambil. Perhatikanlah saat Ibrahim a.s. bertanya kepada Allah SWT, apakah kepemimpinan yang diberikan padanya itu akan diturunkan juga pada anak-anaknya. Lalu Allah SWT menjawab bahwa kepemimpinan tidak berlaku bagi turunannya yang zalim.

Bukan berarti bahwa turunan Nabi Ibrahim a.s. adalah orang-orang yang zalim seluruhnya. Setelahnya pun, Ismail a.s. menjadi pimpinan di kaumnya. Bagian ayat ini mengindikasikan, bahwa kepemimpinan bukanlah warisan. Hak untuk memberikan kepemimpinan masih tetap di tangan Allah. Allah tak akan berkenan memberikan kepemimpinan pada pihak yang zalim. Seperti apakah pemimpin yang zalim itu? Pemimpin yang serba tanggung, melaksanakan amanah seadanya saja. Tidak mengusahakan yang terbaik.

Karena kepemimpinan bukanlah sesuatu yang diwariskan. Maka bagaimana kita mengalihkan tongkat estafet kepemimpinan itu kepada generasi yang mukmin, yang juga berjuang untuk menegakkan dien-Nya? Karena sungguh Allah melarang kita mengambil pimpinan dari kaum lain selain mukmin (Q.S. Al Maidah: 51) Bagaimana agar turunan kita kelak dapat meneruskan kepemimpinan di muka bumi? (ehm, ini emang temanya jiwa kepemimpinan anak, jadi asumsinya pendengarnya udah punya anak semua. Yah gapapalah buat bekal nanti. Lebih baik terlalu dini daripada telat, kan waktu ga bisa di-rewind ya ga :D). Jalannya cuma satu: melalui proses pendidikan.

Jiwa Kepemimpinan Anak

Penting ngga sih membekali diri anak dengan sifat-sifat kepemimpinan? Tentu penting. Anak lelaki akan tumbuh menjadi pemimpin bagi istri dan anak-anaknya kelak. Anak perempuan akan tumbuh menjadi pemimpin dalam rumah tangganya kelak. Minimal agar sang anak dapat memimpin dirinya sendiri. Agar ia dapat mandiri menjalani hidupnya sendiri. Tidak terbawa arus kemudian ended up being nothing. Naudzubillah.

Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang di pimpinnya, Seorang penguasa adalah pemimpin bagi rakyatnya dan bertanggung jawab atas mereka, seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab atasnya. Seorang hamba sahaya adalah penjaga harga tuannya dan dia bertanggung jawab atasnya.” (HR Bukhari)

So, karena kepemimpinan bukanlah keturunan melainkan sesuatu yang dibentuk oleh masing-masing individu, orangtua berperan penting dalam pendidikan kepemimpinan si anak ini. Berikut poin-poin penting untuk diperhatikan:

a. Dewasakan anak

Mengapa harus dewasa dulu? Karena pemimpin jelas memikul tanggung jawab. Sedangkan anak-anak, jangankan tentang urusan dunia, urusan akhirat saja ia tak bertanggung jawab karena masih dalam tanggungan orangtuanya.

Dalam islam, seseorang dianggap dewasa saat ia mencapai akil balig. Dewasa akal dan jasmaninya. Eits, jangan dulu dipandang sepele karena saat agama kita mensyaratkan akil balig bersama-sama. Seseorang yang sudah akil namun belum balig, belumlah dianggap dewasa. Adakah orang yang seperti itu? Tentu saja ada. Contohnya adalah Imam Syafi’i. Beliau mengeluarkan fatwa mengenai shaum sedangkan ia sendiri tidak melaksanakan shaum (kalo ga salah umur beliau 12 tahun waktu itu, cmiiw).

Yang harus diwaspadai adalah fenomena saat ini menunjukkan gejala yang sebaliknya. Sudah balig, namun akilnya belum sampai. Lihat aja, anak TK aja sekarang udah ada yang pacaran ==”. Ini yang mengkhawatirkan. Saat kebutuhan jasmaninya sudah mendewasa, akilnya masih kekanakan. Sang akal belum dapat mengendalikan sempurna, sedangkan nafsu dan ego sudah telanjur tinggi. Bahaya, bukan? Ini menjadi peer tersendiri untuk orangtua sekarang ini (fuh, beratnya jadi orang tua jaman sekarang).

Sebelum keduanya dicapai sang anak, maka akan sulit untuk memberikan pendidikan mengenai kepemimpinan ini. Dewasakanlah anak, sehingga ia dapat diajak berdialog. Al Qur’an mengisahkan Nabi Ibrahim mencontohkan hal ini:

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapat mu! …” (QS.As-Shaffat:102)

b. Saat anak sudah dewasa (akil balig), Ikhlaskanlah anak menjadi seorang yang dewasa

Dikatakan bahwa (ini udah sering saya denger tapi lupa dri metode mana ya T_T) cara mendidik anak yang tepat, berdasarkan keadaan psikologis si anak adalah 7 tahun pertama dengan menjadikannya raja, 7 tahun kedua dengan menjadikannya jundi/ prajurit, dan 7 tahun ketiga dengan memposisikannya sebagai teman, setara. Selalu berkomunikasi dengan kalimat instruksional akan memposisikan sang anak selamanya menjadi anak buah.

Masih dalam Q.S. As Shaffat ayat: 102, Nabi Ibrahim mengajak berbicara pada anaknya Ismail dengan memposisikannya setara. Bayangkan jika Ismail masih diposisikan sebagai anak kecil, pastilah Nabi Ibrahim menggunakan kalimat perintah. Akan tetapi tidak, beliau menyampaikannya dengan kalimat berita, meminta pendapat dari sang anak.

Saya beberapa kali menemukan orangtua yang tidak rela anaknya tumbuh dewasa. Anaknya sudah dewasa tetapi masih diperlakukan sebagai anak kecil. Diatur ini-itu, ditelepon setiap beberapa jam sekali untuk menanyakan dia lagi ngapain, sama siapa, tidak boleh bepergian selain dengan keluarga–intinya, tidak diperkenankan membuat keputusan sendiri. Ada banyak kisah anak lelaki yang sudah menikah saja, ibunya masih ngurusin ini-itu, seakan istri dan ibunya rebutan :D.

Padahal, salahsatu tanda kedewasaan itu, ia dapat membuat keputusan sendiri. Seorang pemimpin pun, dituntut untuk mampu mengambil putusan-putusan yang tepat saat genting. Bagaimana jika pemimpin tak dapat mengambil keputusan? akan kacau keadaan kaum yang dipimpinnya.

Lalu apakah jawaban dari Ismail a.s. mengenai hal ini? masih dalam ayat yang sama:

“…ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada-mu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S. As Shaffat:102)

Dari caranya menjawab, terlihat jelas kedewasaannya. Ia memilih apa yang paling diyakininya meski ayahnya memberikan opsi terbuka. Sebuah perkara yang besar: bahwa ia akan disembelih. Meski perintah dari Allah, jiwa kekanakan akan lebih mementingkan egonya sendiri. Jika Ismail masih kekanakan, tentu ia akan menolak terang-terangan.

c. Menumbuhkan Nilai-Nilai Cinta

Dalam ayat Q.S. As Shaffat 102 tadi, Nabi Ibrahim menggunakan kata ‘Yaa Bunayya’, panggilan kepada anak dengan rasa cinta, bukan sekedar ‘Yaa Ibnu’. Maka apa balasan dari Ismail a.s.?

‘Yaa Abati’ atau wahai ayahku tercinta, bukan sekedar ‘Yaa Abi’. Ya, cinta akan berbalaskan cinta. Sebaik-baik pemimpin adalah yang mencintai kaum dan dicintai pula oleh kaumnya, bukan? Maka sungguh penting untuk menumbuhkan rasa cinta pada sang anak dalam pendidikan kepemimpinannya.

d. Sastra Memegang Peranan Penting

Sejatinya hakikat sastra ialah untuk memanusiakan manusia. Merupakan suatu anggapan yang salah jika bahasa hanya dipandang sebagai alat komunikasi saja. Sesungguhnya, bahasa merupakan sebuah perwujudan dari peradaban, bahasa merupakan sarana pendidikan. bahasa mencerminkan budaya dan peradaban. bahasa merupakan alat untuk berdagang, untuk meyakinkan orang, untuk menghubungkan hati dengan hati: maknanya jauh lebih dalam.

Umar bin Khatab mengatakan: Ajarkan anakmu sastra, maka ia akan belajar menjadi pemberani. Hmm..pemimpin memang selayaknya berbahasa, berkata-kata, berkomunikasi bagus :).

Bahkan ustadz ini memberikan nasihat, untuk tidak mendidik anak dengan bi/multilingual kepada anak sejak dini, karena hal tersebut akan membuat anak buta akan sastra setiap bahasa yang dikenalnya. Didik anak hingga ia teguh bahasa ibunya, insya Allah kelak ia tidak akan kesulitan dalam mempelajari bahasa lain nantinya :)

 

Copas: a sub from titiksenyap.blogspot.com