Minggu, 23 Agustus 2015

Jadi Pensyarah (Dosen) di Malaysia

Sekitar akhir tahun 2006 mendapat informasi dari fakultas tempat melaksanakan studi bahwa tesis dinyatakan diterima dan hanya perlu perbaikan kecil saja. Terasa lega setelah sekitar 3,5 tahun berusaha untuk menyelesaikan karya tulis sesuai dengan standar yang ditetapkan dan disupervisi oleh dua orang dosen pembimbing. Tinggal menunggu keputusan resmi dari sidang senat universitas dan ijasah yang akan dikeluarkan. Berdasar hal itu, mulailah mencoba mencari kesempatan untuk bekerja sebagai dosen perguruan tinggi karena bekal pendidikan dianggap sudah memadai.


Target yang mudah dilihat adalah bekerja pada universitas negeri yang berdekatan. Dimulai secara informal, melalui teman guru yang kenal dengan pimpinan tertinggi universitas tersebut. Sekitar empat tahun sebelumnya pernah bertemu dengan seorang ketua jurusan yang mengatakan bahwa dia akan menerima kalau memang sudah punya ijasah S3. Artinya memang punya peluang apalagi ada jurusan yang sesuai dengan bidang ilmu saat menyelesaikan studi doktoral, namun ternyata yang terjadi tidak segampang lulus dari studi. Seperti yang dialami seorang teman lain, lowongan yang ada hanya untuk lulusan S1, kalau pun mau pindah unit organisasi harus ada surat keputusan dari Dikti (kalau tanya dikti, maka perlu rekomendasi; kasarnya di-ping-pong); seorang teman dekat yang dosen di universitas tersebut menasehati kalau tidak mempunyai ‘identitas’ yang sama jangan banyak berharap bisa diterima.


Ternyata pengalaman di atas tidaklah unik. Satu universitas negeri di kota kelahiran membuka lowongan kerja secara terbuka di media massa. Saat mendaftar secara langsung, si petugas bertanya tentang profil dan syarat administratif, sampai akhirnya keluar jawaban ‘lucu’ dari beliau, “kami mencari lulusan S3 dalam negeri”. Di satu universitas swasta yang besar di kota yang sama, setelah sebulan lebih mengirimkan surat lamaran muncul jawaban yang dengan tanpa basa-basi menyatakan tidak bisa menerima karena “kualifikasi tidak memenuhi syarat”. Beberapa iklan lowongan dosen atau peneliti di surat kabar pun dicoba namun tiada jawaban didapat.


Seorang kenalan memberi tahu, kenapa tidak mencoba melamar ke universitas di Malaysia? Melalui email ditanyakan kesempatan untuk bekerja melalui dekan fakultas pendidikan di beberapa universitas di Malaysia. Tiga universitas di Malaysia menjawab dengan cepat dan meminta untuk melengkapi persyaratan administratif yaitu UPSI (Universiti Pendidikan Sultan Idris), UM (Universiti Malaya) dan satu universitas (Universiti Teknologi Malaysia atau UTM)  lebih ‘agresif’ lagi, hanya sehari setelah dikirimi email, langsung menelpon dan ‘mewawancarai’ dengan bahasa Inggris sampai bertanya tentang kesiapan kapan mulai bisa bertugas. Jawaban dari tiga universitas negeri jiran ini tentu mengagetkan, sangat kontras dengan respon dari perguruan tinggi di Indonesia saat mencoba melamar menjadi dosen di institusinya.


Setelah berdiskusi dengan keluarga, akhirnya diputuskan untuk mengambil kesempatan yang diberikan. Tidak terlalu lama muncul pemberitahuan untuk mengirimkan surat lamaran secara resmi, melakukan test kesehatan dan menyampaikan hasilnya. Sekitar 1,5 bulan kemudian muncul surat kontrak kerja yang menawarkan posisi dosen berisi informasi masa kontrak, pangkat, gaji bulanan, tunjangan, hak dan kewajiban pegawai dan lainnya. Kontrak pun ditandatangani dan dikirim balik ke UTM.  Setelah itu, kontrak kerja dari universitas lain pun ternyata datang dan malah menawarkan posisi serta penghasilan yang lebih baik, namun terlanjur menerima yang pertama sehingga tawaran kerja dari yang lain pun dikembalikan.


Pada bulan Oktober 2008 mulailah bekerja resmi sebagai pensyarah (dosen) di Fakulti Pendidikan UTM. Fasilitas kerja yang diberikan pun memadai, misalnya diberikan laptop Toshiba Portege, ruang kerja 3 x 3 meter lengkap dengan perabotannya, akses internet 24 jam, kelengkapan alat tulis kantor yang mencakup print dan fotocopy, akses pada jurnal dan database elektronik sampai kepada dana riset untuk kegiatan penelitian. Beban kerja per semester adalah mengajar dua mata kuliah di tingkat master (s2), satu mata kuliah S1, membimbing dua orang mahasiswa S3. Terdapat juga target menerbitkan beberapa tulisan di jurnal internasional serta menulis bagian buku dalam satu tahunnya.


Bila melihat kembali pengalaman ini, mungkin anda bisa memahami kenapa sebagian orang Indonesia memilih untuk bekerja di Malaysia. Disamping fasilitas dan penghasilan yang memadai, lingkungan kerja yang kondusif dan tantangannya menjadikan bekerja di negeri jiran ini sesuatu yang menjanjikan bagi masa depan diri sendiri dan keluarga (juga mungkin sedikit menghasilkan devisa buat Indonesia). Namun, ada sesuatu yang terasa beda, sesuatu yang hilang, saat melakukan pembimbingan pada mahasiswa untuk karya tulisnya, dimana intensitas diskusi, eksplorasi ilmiah dan pengembangan pengetahuan si mahasiswa berlangsung; kenapa tidak mencerdaskan sesama anak bangsa? Jawaban yang bisa mementramkan hati: yah minimal yang dilakukan adalah berbakti buat kemanusiaan, sesuatu yang dilakukan oleh guru dalam menjalankan profesinya.

Copied from:
Bambang Sumintono (deceng@gmail.com)
http://deceng2.wordpress.com/2010/05/21/jadi-pensyarah/