Keteladanan Ibrahim & Jiwa Kepemimpinan bagi anak
Melalui kisah para Nabi terdahulu, kita
dapat mengambil hikmah bahwa salahsatu ciri adanya jiwa pemimpin ialah
dengan memberikan yang terbaik dalam setiap hal yang diembankan padanya,
menuntaskan setiap amanahnya dengan sempurna. Mari kita simak ayat
berikut ini:
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim
diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan
sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau
sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan
(juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku
tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (Q.S. Al Baqarah: 124)
Nabi Ibrahim a.s. dijadikan pemimpin atas
kaumnya setelah beliau melaksanakan perintah-perintah Allah dengan
sempurna. Allah-lah pemilik kepemimpinan, dan kepemimpinan itu dari
Allah bagi siapa saja yang fit & proper untuk mengembannya.
“Katakanlah (Muhammad), “Wahai
Tuhan Pemilik kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki, dan
Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau
hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala
kebajikan. Sungguh, Engkau Maha kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Ali
Imran: 26)
Jadi, untuk menyandang kepemimpinan, yang
perlu dilakukan bukanlah merebutnya dari penguasa yang lama, melainkan
memantaskan diri agar Allah berkenan memberikan kepemimpinan kita. Ihsan
dalam melakukan sesuatu. Niat dan menargetkan yang terbaik.
Ya, Allah meminta yang terbaik dari diri
kita. Ahsanu amala, sebaik-baik, yang terbaik perbuatannya. Coba
renungkan hadits berikut ini:
“Bila kamu melihat kemungkaran, ubahlah dengan tanganmu. Bila tak
mampu ubahlah dengan lisanmu. bila tak sanggup, ubahlah dengan hatimu,
dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Mengapa urutannya bukan “Ubahlah dengan
hatimu, lalu jika mampu, ubahlah dengan lisanmu, lalu jika mampu,
ubahlah dengan tanganmu…”
Mengapa?
Karena Allah meminta kita mengusahakan
yang terbaik dari diri kita. Adapun Allah, tidak membebani seorang hamba
melebihi yang dapat ditanggungnya. Subhanallah, sungguh Allah Maha
Bijaksana :).
Dari ayat Q.S. Al Baqarah ayat 24 tadi,
masih ada hal lain yang dapat kita ambil. Perhatikanlah saat Ibrahim
a.s. bertanya kepada Allah SWT, apakah kepemimpinan yang diberikan
padanya itu akan diturunkan juga pada anak-anaknya. Lalu Allah SWT
menjawab bahwa kepemimpinan tidak berlaku bagi turunannya yang zalim.
Bukan berarti bahwa turunan Nabi Ibrahim
a.s. adalah orang-orang yang zalim seluruhnya. Setelahnya pun, Ismail
a.s. menjadi pimpinan di kaumnya. Bagian ayat ini mengindikasikan, bahwa
kepemimpinan bukanlah warisan. Hak untuk memberikan kepemimpinan masih
tetap di tangan Allah. Allah tak akan berkenan memberikan kepemimpinan
pada pihak yang zalim. Seperti apakah pemimpin yang zalim itu? Pemimpin
yang serba tanggung, melaksanakan amanah seadanya saja. Tidak
mengusahakan yang terbaik.
Karena kepemimpinan bukanlah sesuatu yang
diwariskan. Maka bagaimana kita mengalihkan tongkat estafet
kepemimpinan itu kepada generasi yang mukmin, yang juga berjuang untuk
menegakkan dien-Nya? Karena sungguh Allah melarang kita mengambil
pimpinan dari kaum lain selain mukmin (Q.S. Al Maidah: 51) Bagaimana
agar turunan kita kelak dapat meneruskan kepemimpinan di muka bumi?
(ehm, ini emang temanya jiwa kepemimpinan anak, jadi asumsinya
pendengarnya udah punya anak semua. Yah gapapalah buat bekal nanti.
Lebih baik terlalu dini daripada telat, kan waktu ga bisa di-rewind ya
ga :D). Jalannya cuma satu: melalui proses pendidikan.
Jiwa Kepemimpinan Anak
Penting ngga sih membekali diri anak
dengan sifat-sifat kepemimpinan? Tentu penting. Anak lelaki akan tumbuh
menjadi pemimpin bagi istri dan anak-anaknya kelak. Anak perempuan akan
tumbuh menjadi pemimpin dalam rumah tangganya kelak. Minimal agar sang
anak dapat memimpin dirinya sendiri. Agar ia dapat mandiri menjalani
hidupnya sendiri. Tidak terbawa arus kemudian ended up being nothing.
Naudzubillah.
“Setiap kalian adalah pemimpin dan
bertanggung jawab atas apa yang di pimpinnya, Seorang penguasa adalah
pemimpin bagi rakyatnya dan bertanggung jawab atas mereka, seorang istri
adalah pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab atasnya.
Seorang hamba sahaya adalah penjaga harga tuannya dan dia bertanggung
jawab atasnya.” (HR Bukhari)
So, karena kepemimpinan bukanlah
keturunan melainkan sesuatu yang dibentuk oleh masing-masing individu,
orangtua berperan penting dalam pendidikan kepemimpinan si anak ini.
Berikut poin-poin penting untuk diperhatikan:
a. Dewasakan anak
Mengapa harus dewasa dulu? Karena
pemimpin jelas memikul tanggung jawab. Sedangkan anak-anak, jangankan
tentang urusan dunia, urusan akhirat saja ia tak bertanggung jawab
karena masih dalam tanggungan orangtuanya.
Dalam islam, seseorang dianggap dewasa
saat ia mencapai akil balig. Dewasa akal dan jasmaninya. Eits, jangan
dulu dipandang sepele karena saat agama kita mensyaratkan akil balig
bersama-sama. Seseorang yang sudah akil namun belum balig, belumlah
dianggap dewasa. Adakah orang yang seperti itu? Tentu saja ada.
Contohnya adalah Imam Syafi’i. Beliau mengeluarkan fatwa mengenai shaum
sedangkan ia sendiri tidak melaksanakan shaum (kalo ga salah umur beliau
12 tahun waktu itu, cmiiw).
Yang harus diwaspadai adalah fenomena
saat ini menunjukkan gejala yang sebaliknya. Sudah balig, namun akilnya
belum sampai. Lihat aja, anak TK aja sekarang udah ada yang pacaran ==”.
Ini yang mengkhawatirkan. Saat kebutuhan jasmaninya sudah mendewasa,
akilnya masih kekanakan. Sang akal belum dapat mengendalikan sempurna,
sedangkan nafsu dan ego sudah telanjur tinggi. Bahaya, bukan? Ini
menjadi peer tersendiri untuk orangtua sekarang ini (fuh, beratnya jadi
orang tua jaman sekarang).
Sebelum keduanya dicapai sang anak, maka
akan sulit untuk memberikan pendidikan mengenai kepemimpinan ini.
Dewasakanlah anak, sehingga ia dapat diajak berdialog. Al Qur’an
mengisahkan Nabi Ibrahim mencontohkan hal ini:
“Maka tatkala anak itu sampai
(pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai
anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapat mu! …” (QS.As-Shaffat:102)
b. Saat anak sudah dewasa (akil balig), Ikhlaskanlah anak menjadi seorang yang dewasa
Dikatakan bahwa (ini udah sering saya
denger tapi lupa dri metode mana ya T_T) cara mendidik anak yang tepat,
berdasarkan keadaan psikologis si anak adalah 7 tahun pertama dengan
menjadikannya raja, 7 tahun kedua dengan menjadikannya jundi/ prajurit,
dan 7 tahun ketiga dengan memposisikannya sebagai teman, setara. Selalu
berkomunikasi dengan kalimat instruksional akan memposisikan sang anak
selamanya menjadi anak buah.
Masih dalam Q.S. As Shaffat ayat: 102,
Nabi Ibrahim mengajak berbicara pada anaknya Ismail dengan
memposisikannya setara. Bayangkan jika Ismail masih diposisikan sebagai
anak kecil, pastilah Nabi Ibrahim menggunakan kalimat perintah. Akan
tetapi tidak, beliau menyampaikannya dengan kalimat berita, meminta
pendapat dari sang anak.
Saya beberapa kali menemukan orangtua
yang tidak rela anaknya tumbuh dewasa. Anaknya sudah dewasa tetapi masih
diperlakukan sebagai anak kecil. Diatur ini-itu, ditelepon setiap
beberapa jam sekali untuk menanyakan dia lagi ngapain, sama siapa, tidak
boleh bepergian selain dengan keluarga–intinya, tidak diperkenankan
membuat keputusan sendiri. Ada banyak kisah anak lelaki yang sudah
menikah saja, ibunya masih ngurusin ini-itu, seakan istri dan ibunya
rebutan :D.
Padahal, salahsatu tanda kedewasaan itu,
ia dapat membuat keputusan sendiri. Seorang pemimpin pun, dituntut untuk
mampu mengambil putusan-putusan yang tepat saat genting. Bagaimana jika
pemimpin tak dapat mengambil keputusan? akan kacau keadaan kaum yang
dipimpinnya.
Lalu apakah jawaban dari Ismail a.s. mengenai hal ini? masih dalam ayat yang sama:
“…ia menjawab: “Hai
bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada-mu; insya Allah kamu
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S. As Shaffat:102)
Dari caranya menjawab, terlihat
jelas kedewasaannya. Ia memilih apa yang paling diyakininya meski
ayahnya memberikan opsi terbuka. Sebuah perkara yang besar: bahwa ia
akan disembelih. Meski perintah dari Allah, jiwa kekanakan akan lebih
mementingkan egonya sendiri. Jika Ismail masih kekanakan, tentu ia akan
menolak terang-terangan.
c. Menumbuhkan Nilai-Nilai Cinta
Dalam ayat Q.S. As Shaffat 102 tadi, Nabi
Ibrahim menggunakan kata ‘Yaa Bunayya’, panggilan kepada anak dengan
rasa cinta, bukan sekedar ‘Yaa Ibnu’. Maka apa balasan dari Ismail a.s.?
‘Yaa Abati’ atau wahai ayahku tercinta,
bukan sekedar ‘Yaa Abi’. Ya, cinta akan berbalaskan cinta. Sebaik-baik
pemimpin adalah yang mencintai kaum dan dicintai pula oleh kaumnya,
bukan? Maka sungguh penting untuk menumbuhkan rasa cinta pada sang anak
dalam pendidikan kepemimpinannya.
d. Sastra Memegang Peranan Penting
Sejatinya hakikat sastra ialah untuk
memanusiakan manusia. Merupakan suatu anggapan yang salah jika bahasa
hanya dipandang sebagai alat komunikasi saja. Sesungguhnya, bahasa
merupakan sebuah perwujudan dari peradaban, bahasa merupakan sarana
pendidikan. bahasa mencerminkan budaya dan peradaban. bahasa merupakan
alat untuk berdagang, untuk meyakinkan orang, untuk menghubungkan hati
dengan hati: maknanya jauh lebih dalam.
Umar bin Khatab mengatakan: Ajarkan
anakmu sastra, maka ia akan belajar menjadi pemberani. Hmm..pemimpin
memang selayaknya berbahasa, berkata-kata, berkomunikasi bagus :).
Bahkan ustadz ini memberikan nasihat,
untuk tidak mendidik anak dengan bi/multilingual kepada anak sejak dini,
karena hal tersebut akan membuat anak buta akan sastra setiap bahasa
yang dikenalnya. Didik anak hingga ia teguh bahasa ibunya, insya Allah
kelak ia tidak akan kesulitan dalam mempelajari bahasa lain nantinya :)
Copas: a sub from titiksenyap.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar