Sekitar akhir tahun 2006 mendapat informasi dari fakultas tempat
melaksanakan studi bahwa tesis dinyatakan diterima dan hanya perlu
perbaikan kecil saja. Terasa lega setelah sekitar 3,5 tahun berusaha
untuk menyelesaikan karya tulis sesuai dengan standar yang ditetapkan
dan disupervisi oleh dua orang dosen pembimbing. Tinggal menunggu
keputusan resmi dari sidang senat universitas dan ijasah yang akan
dikeluarkan. Berdasar hal itu, mulailah mencoba mencari kesempatan untuk
bekerja sebagai dosen perguruan tinggi karena bekal pendidikan dianggap
sudah memadai.
Target yang mudah dilihat
adalah bekerja pada universitas negeri yang berdekatan. Dimulai secara
informal, melalui teman guru yang kenal dengan pimpinan tertinggi
universitas tersebut. Sekitar empat tahun sebelumnya pernah bertemu
dengan seorang ketua jurusan yang mengatakan bahwa dia akan menerima
kalau memang sudah punya ijasah S3. Artinya memang punya peluang apalagi
ada jurusan yang sesuai dengan bidang ilmu saat menyelesaikan studi
doktoral, namun ternyata yang terjadi tidak segampang lulus dari studi.
Seperti yang dialami seorang teman lain, lowongan yang ada hanya untuk
lulusan S1, kalau pun mau pindah unit organisasi harus ada surat
keputusan dari Dikti (kalau tanya dikti, maka perlu rekomendasi;
kasarnya di-ping-pong); seorang teman dekat yang dosen di universitas
tersebut menasehati kalau tidak mempunyai ‘identitas’ yang sama jangan
banyak berharap bisa diterima.
Ternyata
pengalaman di atas tidaklah unik. Satu universitas negeri di kota
kelahiran membuka lowongan kerja secara terbuka di media massa. Saat
mendaftar secara langsung, si petugas bertanya tentang profil dan syarat
administratif, sampai akhirnya keluar jawaban ‘lucu’ dari beliau, “kami
mencari lulusan S3 dalam negeri”. Di satu universitas swasta yang besar
di kota yang sama, setelah sebulan lebih mengirimkan surat lamaran
muncul jawaban yang dengan tanpa basa-basi menyatakan tidak bisa
menerima karena “kualifikasi tidak memenuhi syarat”. Beberapa iklan
lowongan dosen atau peneliti di surat kabar pun dicoba namun tiada
jawaban didapat.
Seorang kenalan memberi tahu,
kenapa tidak mencoba melamar ke universitas di Malaysia? Melalui email
ditanyakan kesempatan untuk bekerja melalui dekan fakultas pendidikan di
beberapa universitas di Malaysia. Tiga universitas di Malaysia menjawab
dengan cepat dan meminta untuk melengkapi persyaratan administratif
yaitu UPSI (Universiti Pendidikan Sultan Idris), UM (Universiti Malaya) dan satu universitas (Universiti Teknologi Malaysia atau UTM)
lebih ‘agresif’ lagi, hanya sehari setelah dikirimi email, langsung
menelpon dan ‘mewawancarai’ dengan bahasa Inggris sampai bertanya
tentang kesiapan kapan mulai bisa bertugas. Jawaban dari tiga
universitas negeri jiran ini tentu mengagetkan, sangat kontras dengan
respon dari perguruan tinggi di Indonesia saat mencoba melamar menjadi
dosen di institusinya.
Setelah berdiskusi
dengan keluarga, akhirnya diputuskan untuk mengambil kesempatan yang
diberikan. Tidak terlalu lama muncul pemberitahuan untuk mengirimkan
surat lamaran secara resmi, melakukan test kesehatan dan menyampaikan
hasilnya. Sekitar 1,5 bulan kemudian muncul surat kontrak kerja yang
menawarkan posisi dosen berisi informasi masa kontrak, pangkat, gaji
bulanan, tunjangan, hak dan kewajiban pegawai dan lainnya. Kontrak pun
ditandatangani dan dikirim balik ke UTM. Setelah itu, kontrak kerja
dari universitas lain pun ternyata datang dan malah menawarkan posisi
serta penghasilan yang lebih baik, namun terlanjur menerima yang pertama
sehingga tawaran kerja dari yang lain pun dikembalikan.
Pada bulan Oktober 2008 mulailah bekerja resmi sebagai pensyarah
(dosen) di Fakulti Pendidikan UTM. Fasilitas kerja yang diberikan pun
memadai, misalnya diberikan laptop Toshiba Portege, ruang kerja 3 x 3
meter lengkap dengan perabotannya, akses internet 24 jam, kelengkapan
alat tulis kantor yang mencakup print dan fotocopy, akses pada jurnal
dan database elektronik sampai kepada dana riset untuk kegiatan
penelitian. Beban kerja per semester adalah mengajar dua mata kuliah di
tingkat master (s2), satu mata kuliah S1, membimbing dua orang mahasiswa
S3. Terdapat juga target menerbitkan beberapa tulisan di jurnal
internasional serta menulis bagian buku dalam satu tahunnya.
Bila melihat kembali pengalaman ini, mungkin anda bisa memahami kenapa
sebagian orang Indonesia memilih untuk bekerja di Malaysia. Disamping
fasilitas dan penghasilan yang memadai, lingkungan kerja yang kondusif
dan tantangannya menjadikan bekerja di negeri jiran ini sesuatu yang
menjanjikan bagi masa depan diri sendiri dan keluarga (juga mungkin
sedikit menghasilkan devisa buat Indonesia). Namun, ada sesuatu yang
terasa beda, sesuatu yang hilang, saat melakukan pembimbingan pada
mahasiswa untuk karya tulisnya, dimana intensitas diskusi, eksplorasi
ilmiah dan pengembangan pengetahuan si mahasiswa berlangsung; kenapa
tidak mencerdaskan sesama anak bangsa? Jawaban yang bisa mementramkan
hati: yah minimal yang dilakukan adalah berbakti buat kemanusiaan,
sesuatu yang dilakukan oleh guru dalam menjalankan profesinya.
Copied from:
Bambang Sumintono (deceng@gmail.com)
http://deceng2.wordpress.com/2010/05/21/jadi-pensyarah/